Pemerintah Harus Mendengar Aspirasi Konsumen di Ekosistem Pertembakauan


20220921_152840
 

 

Jakarta - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI berharap pemerintah mendengar keluhan atau aspirasi konsumen.

"Pemerintah perlu melibatkan konsumen ketika membuat kebijakan, dan harus dengar aspirasinya.Salah satu hak konsumen seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah suaranya didengarkan,” kata Staf Bidang Advokasi BPKN, Lili Akmalia di Jakarta, Rabu (21/9).

Menurut dia, pihaknya tengah menggodok revisi aturan tentang Perlindungan Konsumen agar lebih kuat dalam melindungi konsumen, termasuk memposisikan lembaga ini sebagai regulator, seperti yang diterapkan di sejumlah negara.

Senda dengan Lili, Ketua Divisi Advokasi dan Pendidikan Konsumen Pakta Konsumen Ary Fatanen mengungkapkan, konsumen harus didengarkan, jangan dilihat sebagai objek tetapi subjek, termasuk dalam membuat aturan terkait sektor pertembakauan, karena peranan konsumen dalam ekosistem industri pertembakauan sangatlah besar.

"Selama inikan konsumen itu hanya dijadikan objek, tidak didengar masukan atau keluhannya ketika membuat aturan," paparnya.

Lebih lanjut, konsumen masih menjadi obyek yang bebannya cukup berat karena harus menanggung setiap kenaikan cukai, padahal mestinya sebagai konsumen kita dijadikan sebagai subjek, warga negara yang didengarkan aspirasinya. Hal yang sama juga terkait dengan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT). Dirinya mempertanyakan efektivitasnya untuk konsumen.

“Akibat kurangnya perhatian terhadap kepentingan konsumen, di daerah banyak konsumen yang bermigrasi ke produk lintingan yang cukainya rendah, yang sumbangsih untuk negaranya sedikit, bahkan itu menjadi lifestyle,” ujarnya.

Sedangkan Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido menambahkan, partisipasi publik saat membuat aturan itu harus diperhatikan. Termasuk ketika membuat aturan terkait produk hasil tembakau.

“Proses sosialisasi selama ini, terkesan hanya searah, tidak berpola konsulting atau kemitraan. Artinya bobot aspirasi publik yang didengar itu rendah. Padahal itu diatur dalam UUD terkait menyatakan pendapat atau partisipasi publik," tegasnya.


Penulis : Indra

Editor : Irwen