Tiga Tantangan Hambat Pertumbuhan Industri Petrokimia


Petrokimia
 

 

Jakarta – Industri petrokimia nasional berpeluang besar menjadi pemimpin di kawasan Asean.

Ketua umum Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Suhat Miyarso mengatakan, untuk menjadi nomor satu di Asean, industri petrokimia masih mengalami hambatan seperti administrasi atau peraturan, Fiskal dan serbuan produk impor.

"Untuk bidang administrasi, perizinan lahan lewat (OSS) masih belum maksimal dan ketentuan lahan yang harus bayar PPN tidak bisa dikredit, jelas ini membuat sulit pengusaha atau investor. Hambatan kedua adalah masalah Fiskal, seperti kredit PPN yang waktunya singkat sekali dan yang terakhir serbuan produk impor jika tidak dibatasi akan merusak produk petrokimia dalam negeri,” katanya, Kamis (16/6).

Menurut dia, rencana penurunan bea masuk sampai 0% juga memberatkan industri petrokimia dan membuat investor ketar ketir karena produk petrokimia dari UEA akan membanjiri pasar dalam negeri.

“Industri petrokimia di Timur Tengah menggunakan bahan baku berupa ethane gas yang pabriknya terintegrasi dengan kilang minyak sehingga notabene harga petrokimianya lebih murah. Sebab ethane gas yang sudah diolah menjadi monomer harganya US$300 per ton sedangkan harga nafta sudah di kisaran US$800 hingga US$900 per ton. Sedangkan saat ini, Indonesia masih 50% mengimpor polymer dan bahan baku plastik sehingga kalau Indonesia digempur importasi, industri lokal akan babak belur,” paparnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi CORE Hendri Saparini mengungkapkan, ada tantangan besar bagi industri petrokimia pasca pandemi Covid-19, yaitu bahan baku dan produk turunannya. Industri petrokimkia dituntut menemukan inovasi bahan baku dan pengolahan produk turunan dengan harga bersaing dibanding produk luar negeri sehingga lebih kompetitif dan meningkatkan market share.

“Bagi Indonesia, kondisi ini akan menjadi lebih berat karena sejumlah hal, Pertama, harus menghadapi ketidakpastian dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global serta perlambatan permintaan akibat penundaan ekspansi dan penurunan pertumbuhan industri di negara yang menjadi pasar utama ekspor Indonesia,” ujarnya.

Hendri menambahkan, langkah untuk membangun industri hulu tidak bisa lagi ditunda karena Indonesia sudah sangat terlambat dibanding negara-negara lain.

“Salah satu yang menjadi prioritas pemerintah dalam membangun industri manufaktur yang kuat dan kompetitif adalah memperkuat industri hulu petrokimia. Disamping itu, produk turunan industri petrokimia memiliki permintaan dalam negeri yang besar, tetapi masih sangat bergantung pada produk impor terutama dari negara di kawasan Asean,” tegasnya.


Penulis : Indra

Editor : Irwen