Praktik Cross Border Rugikan UMKM Lokal


Jakarta – Regulasi impor barang melalui sektor perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce masih belum maksimal.

Saat ini, Indonesia menjadi surga bagi e-commerce lintas negara atau cross-border yang merugikan produk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) lokal.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, praktik cross border di e-commerce sangat merugikan UMKM karena pemain e-commerce asing menjual dengan harga sangat murah.

“Dalam perdagangan cross-border terjadi tindakan splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk. Hal ini, tentu membuat UMKM lokal kalah saing sehingga muncullah istilah e-commerce domestik dan cross-border,” katanya dalam keterangannya, Kamis (7/10).

Menurtut Ikhsan, pada e-commerce domestik tidak ada splitting. Impor barang dilakukan melalui bea dan cukai dan seluruh penjual berasal dari dalam negeri sehingga ada kontribusi ke pendapatan Indonesia.

“E-commerce cross-border memungkinkan melakukan splitting. Impor barang bisa langsung dilakukan dari penjual luar negeri yang bertransaksi langsung dengan konsumen domestik sehingga transaksi yang terjadi sama sekali tidak berkontribusi ke pendapatan dalam negeri,” paparnya.

Sama dengan praktik impor ilegal yang terjadi melalui jalur luring atau offline. Barang impor yang masuk lewat perdagangan offline tanpa melalui proses bea dan cukai juga bisa membunuh keberadaan UMKM.

Praktisi Hukum Alexander Seno menambahkan, praktik cross border sangat merugikan distributor resmi yang pasti mengurus perizinan dan pajak.

Pertama, kerugian materiil dengan dasar perhitungan berdasarkan jumlah barang yang dimasukan ke Indonesia secara legal yang harusnya dijual oleh perusahaan distributor resmi melalui toko konvensional maupun online yang dikelola langsung oleh perusahaan tersebut.

''Bahwa perincian kerugian materiil yang dialami perusahaan nasional tersebut dapat dihitung berdasarkan jumlah penjualan produk yang telah diedarkan melalui toko yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, penjualan produk kosmetik dari satu pelaku usaha yang mengimpor dan mengedarkan tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku, tanpa membayar pajak bea masuk dan lain-lain, bisa mengedarkan satu jenis produk kosmetik hingga ratusan ribu piece,” tegas Alexander.


Penulis : Indra

Editor : Irwen