Permendag 36/2023 dan penerapan BMAD cegah impor produk petrokimia
Jakarta – Pelaku industri di sektor petrokimia nasional berharap Pemerintah bisa menerapkan kembali regulasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36/2023, serta pemberlakuan hambatan perdagangan berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk menjaga utilitas dan kontribusi terhadap perekonomian.
“Adanya relaksasi impor, utilitas dari sektor petrokimia hulu sudah di bawah 80 persen, serta ada beberapa anggota menghentikan operasional pabrik,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono, Jumat (2/8).
Fajar mengungkapkan, jika aturan impor kembali diperketat melalui Permendag 36/2023, hal ini menjadi sebuah semangat untuk memenuhi industri dalam negeri dengan material yang diproduksi secara lokal, mengingat regulasi tersebut mengatur pemenuhan supply dan demand di dalam pasar domestik.
"Jadi kalau kita kembali ke Permendag 36/2023 semangatnya adalah memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dengan prioritas material lokal dulu. Selebihnya nanti bila ada kekurangan, baru dipenuhi oleh produk impor," paparnya.
Untuk penerapan BMTP-BMAD, pihaknya menilai hal ini perlu dilakukan karena impor barang jadi plastik dalam beberapa bulan terakhir masih cukup tinggi.
"Barang jadi plastik yang masuk ke dalam tekstil, seperti terpal dan lain-lain itu juga impornya masih tinggi, meskipun sudah diatur menggunakan Laporan Surveyor (LS) tapi pasokannya terus meningkat. Selain kembali ke Permendag 36/2024 harus ada BMTP atau BMAD," ujarnya.
Lebih lanjut, dua hal tersebut mesti dilakukan secara tepat dan cepat supaya tidak kehilangan momentum pemajuan sektor petrokimia. Dirinya juga berharap adanya keterbukaan antara sektor hulu dan hilir industri petrokimia terkait kebutuhan di dalam negeri, sehingga para investor bisa mengambil langkah untuk mulai berinvestasi.
"Kita berharap antara hulu dan hilir terjadi saling keterbukaan dan memberikan kepastian kira-kira mapping kebutuhan dan pertumbuhan dalam negeri seberapa besar, sehingga kita bisa memprediksikan dimulainya investasi, dan seberapa besar investasi tersebut bisa ditanamkan dan kembali berapa lama," tuturnya.
Sedangkan Pengamat Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Ernoiz Antriyandarti menilai, instrumen kebijakan pengetatan impor diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri, terutama jika industri tersebut belum berdaya saing diliberalisasi perdagangan.
Menurut dia, pengetatan impor bisa menjadi peluang mengembangkan daya saing industri petrokimia, sehingga Indonesia menjadi pasar bagi produsen petrokimia domestik. Hal ini sejalan dengan rencana strategis pemerintah yang juga menjadikan industri petrokimia sebagai salah satu dari sektor industri yang mendapat perhatian khusus.
"Dengan dikembalikannya pengetatan impor petrokimia, diharapkan impor petrokimia turun signifikan. Selanjutnya menjadi pemacu industri petrokimia dalam negeri untuk berinovasi dan mengembangkan teknologi agar produksinya dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga, ketergantungan impor petrokimia turun, produksi dalam negeri berkembang, daya saing sektor petrokimia meningkat dan neraca perdagangan sektor petrokimia tidak lagi defisit," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Uma menyoroti adanya ketidaksiapan antar lembaga pemerintah yang mengakibatkan banyak kontainer tertahan dan satgas impor yang tidak efektif. Apabila industri nasional sampai terkena serbuan impor, tentu ada efek yang besar pada pertumbuhan ekonomi secara makro.
"Pemerintah harus menyadari bahwa industri strategis seperti petrokimia dan tekstil perlu dilindungi dengan kebijakan yang jelas dan koordinasi antar lembaga yang baik. Kita harus melindungi pasar dalam negeri dengan kebijakan yang mendukung ekosistem industri dari rantai pasok hingga kebijakan teknis," tegasnya.
Penulis : Indra
Editor : Irwen
Editor : Rendra