Kalbe Farma bangun fasilitas produksi Dialyzer pertama di Indonesia


Jakarta (ANTARA) -

PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) melalui PT Forsta Kalmedic Global membangun fasilitas produksi Dialyzer pertama di Indonesia dan kedua di Asia Tenggara (ASEAN).

 

Dialyzer Kalbe Farma terdaftar menggunakan nama RenaCare yang dipasarkan oleh PT Renalmed Tiara Utama.

Melalui penyediaan fasilitas produksi Dialyzer di dalam negeri, Direktur Kalbe Farma Kartika Setiabudy di Jakarta, Rabu, mengatakan, upaya ini merupakan komitmen perseroan untuk terus meningkatkan akses kesehatan bagi masyarakat, khususnya membantu pasien ginjal di Indonesia.

Ia melanjutkan, Kalbe terus mendukung program pemerintah di bidang kemandirian kesehatan, termasuk yang ada dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), yang mana industri alat kesehatan menjadi sektor prioritas.

"Pengembangan sektor prioritas ini juga meningkatkan TKDN industri alat kesehatan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, terutama pengadaan pemerintah," ujar Kartika.

 
Kartika menjelaskan, Dialyzer telah meraih sertifikasi Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB) dari Kementerian Kesehatan.

 

Direktur PT Forsta Kalmedic Global Yvone Astri Della Sijabat menjelaskan Hemodialisa (cuci darah) merupakan prosedur rutin seumur hidup yang dilakukan 2 sampai 3 kali seminggu oleh pasien gagal ginjal kronis di tahap 5 (End Stage Renal Disease) yaitu fungsi ginjal sudah sangat rendah atau kurang dari 15 persen.

 
"Ini merupakan sebuah prosedur di mana mesin dialisis dan dialyzer digunakan untuk membersihkan darah. Dokter membuat akses ke pembuluh darah, biasanya melalui operasi minor di lengan, untuk mengalirkan darah ke dalam dialyzer yang berfungsi sebagai ginjal buatan,” ujar Yvone.
Yvone menjelaskan, Dialyzer merupakan bahan habis pakai (consumables) penting dalam tindakan hemodialisis atau cuci darah.
 
Ia menyebut, sebanyak 99 persen pasien cuci darah dijamin oleh BPJS, dan kebutuhan hemodialisis di Indonesia meningkat setiap tahunnya.
 
"Dari 267 juta jumlah populasi Indonesia, sebanyak 1,5 juta orang merupakan pasien gagal ginjal kronis dengan 159.000 orang menjalani cuci darah," ujar Yvone.
 
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, cuci darah dinyatakan sebagai tindakan dengan biaya terbesar ke empat pada pengeluaran BPJS dengan pengeluaran pada 2023 sebesar Rp2,9 triliun.
 
Fakta lainnya, sebanyak 85 persen pasien cuci darah ada di rentang usia produktif, yang menyebabkan tingginya dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan apabila pasien gagal ginjal tidak terjaga quality of life-nya.
 
"Hal ini terutama penting untuk memastikan kita bisa mencapai Indonesia emas di tahun 2045," ujar Yvone.
 
Data tersebut menunjukkan perlunya penyediaan alat kesehatan dialyzer berkualitas.
 
Dengan adanya produk lokal dialyzer, menurut dia, akan memastikan pemanfaatan dana BPJS tidak hanya untuk akses kesehatan bagi pasien gagal ginjal, tetapi juga untuk mendukung industri alkes lokal dan memastikan dana tersebut menggerakkan ekonomi dalam negeri.
 
Selain itu, dialyzer produksi dalam negeri dapat membantu mempermudah dan memperluas akses ke wilayah-wilayah di Indonesia.
​​​​​​​Yvone menjelaskan, Dialyzer RenaCare produksi lokal sudah menggunakan komponen lokal dengan estimasi nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) lebih dari 40 persen.
 
Ada sejumlah manfaat dari kemandirian industri hemodialisa di berbagai sektor, diantaranya pada sektor ekonomi, dapat mengurangi impor dan menciptakan lapangan kerja.
 
Pada sektor kesehatan, membantu ketersediaan alat yang semakin terjangkau dan efisiensi pasokan alat kesehatan.

 

Sementara itu, pada sektor ketahanan nasional, produksi lokal dialyzer memperkuat ketahanan nasional dengan memastikan ketersediaan produk tetap stabil dan layanan kesehatan berlanjut meski terjadi krisis global.

 
“Produksi lokal dialyzer menghilangkan bea impor dan biaya pengiriman internasional, sehingga harga lebih terjangkau dan biaya perawatan hemodialisis menjadi lebih aksesibel bagi pasien dan fasilitas kesehatan. Selain itu, produksi lokal dialyzer juga mengurangi ketergantungan impor, memastikan ketersediaan produk, menghindari gangguan rantai pasok global, dan menekan dampak fluktuasi nilai tukar,” ujar Yvone.
 
Pencapaian Forsta mendapatkan apresiasi positif oleh sejumlah pihak, di antaranya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), BPJS Kesehatan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), serta Balai Pengamanan Alat dan Fasilitas Kesehatan (BPAFK) Jakarta.

 

 

 


Editor : Dirgantara