Indonesia Solar Summit 2025 Padukan Ekonomi dan Energi Berkeadilan


Jakarta -  Pemanfaatan energi surya melampaui akses terhadap listrik, namun juga mewujudkan keadilan dengan membuka partisipasi masyarakat untuk menurunkan emisi, mendorong lahirnya ekonomi baru, serta menjadi solusi strategis pencapaian ambisi iklim.

Semangat ini melandasi pelaksanaan Indonesia Solar Summit (ISS) 2025  bertema “Solarizing Indonesia: Powering Equity, Economy, and Climate Action”.

Demi mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, pemerintah telah menetapkan target kapasitas pembangkit dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sekitar 108,7 GW pada 2060. 

Tidak hanya itu, pada Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintah untuk membangun 100 GW PLTS, dengan rincian 80  GW PLTS tersebar dan 20 GW PLTS terpusat.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah mengimplementasikan tiga program utama PLTS, yaitu PLTS Atap, PLTS Skala Besar, dan PLTS Terapung. 

"Diperlukan ketersediaan industri rantai pasok surya, ketersediaan Engineering, Procurement, Construction (EPC) surya di seluruh daerah, serta peningkatan kapasitas SDM, khususnya di wilayah terpencil," kata Eniya dalam keterangan tertulis dikutip Senin (15/9).

Ditambahkan, PLTS juga didorong mendukung kegiatan produktif, seperti irigasi pertanian, pariwisata, perikanan, layanan kesehatan (puskesmas), dan sekolah-sekolah.

Selain itu, bonus demografi Indonesia perlu dimanfaatkan untuk memajukan energi surya nasional

Menurut Eniya, pentingnya penambahan permintaan PLTS, dimana potensi energi surya Indonesia diperkirakan mencapai hampir 3.200 GW, sebuah peluang besar untuk mendorong industri dalam negeri sekaligus pertumbuhan ekonomi. 

“Potensi energi surya ini bisa menjadi motor transisi energi sekaligus mendongkrak lebih cepat pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen,” ungkapnya. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menilai energi surya merupakan pintu masuk strategis bagi pengembangan hidrogen dan ammonia hijau. 

Kajian IESR mengindikasikan Indonesia memiliki potensi proyek PLTS  di atas tanah yang layak ekonomi sebesar 165,9 GW di 290 lokasi dan PLTS terapung di badan air sebesar 38,13 GW tersebar di 226 lokasi.

Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO)  IESR menyampaikan bahwa pengembangan energi surya di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa tantangan utama seperti kompleksitas kebijakan dan regulasi, rumitnya perizinan, terbatasnya akses pendanaan, tradisionalnya kapasitas jaringan listrik dan minimnya pekerja teknis yang terampil.

“Harga batas atas tidak sesuai dengan keekonomian proyek, subsidi energi fosil membuat harga listrik dari pembangkit fosil, seakan-akan murah sehingga menciptakan persaingan tidak sehat untuk PLTS," tuturnya.

Selain itu kata Fabby, jaringan listrik nasional yang sebagian besar masih terpusat dan beroperasi dengan sistem lama, belum sepenuhnya siap menampung energi surya dalam skala besar yang tersebar di banyak lokasi. 

"Solusinya, kita harus segera melakukan modernisasi jaringan listrik, membangun sistem jaringan cerdas (smart grid), dan mengintegrasikan teknologi penyimpanan energi,” imbuhnya.

Fabby menilai komitmen Presiden Prabowo untuk membangun 100 GW PLTS merupakan gagasan revolusioner dalam menghadirkan keadilan energi. 

Namun, untuk mewujudkannya maka perlu mengadopsi pendekatan yang berpusat pada komunitas.

Pertama, membuat perencanaan yang rinci, termasuk menetapkan standar dan kualitas sistem yang memenuhi syarat pembiayaan (bankable), menciptakan permintaan dan membangun rantai pasok yang kuat dan menyeluruh. 

Kedua, melibatkan dan memberdayakan masyarakat dan tenaga lokal sehingga dapat memastikan pengoperasian dan keberlangsungan infrastruktur PLTS.

Ketiga, melakukan inovasi dan pengembangan model PLTS skala kecil yang terjangkau dan sesuai dengan aktivitas ekonomi di pedesaan.

 


Penulis : Dirgantara