Green Power Gap Rockefeller Foundation: 72 Negara Memerlukan Energi Bersih Sebesar 8.700 Terawatt-Hour
- Green Power Gap memperkirakan kapasitas energi terbarukan yang harus dihasilkan selambatnya tahun 2050, agar semua negara ini dapat memenuhi tujuan pembangunan dan iklim global
- Menggambarkan empat jalur baru dari kemiskinan energi untuk menutup kesenjangan bagi 3,8 miliar penduduk Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Timur Tengah
Bangkok, (ANTARA/PRNewswire)- Hari ini The Rockefeller Foundation merilis laporan baru berisi penghitungan "Green Power Gap" sebesar 8.700 Terawatt-hour(TWh) di 72 negara di Afrika, Asia, Amerika Latin, Karibia, dan Timur Tengah. Dengan penduduk sejumlah 3,8 miliar jiwa, negara-negara ini harus menggunakan 8.700 TWh tenaga listrik bersih selambatnya tahun 2050, kira-kira dua kali lipat dari produksi tahunan di Amerika Serikat, untuk cepat meninggalkan sistem tenaga listrik yang lebih tradisional, mahal, dan boros menuju masa depan yang kaya energi. Green Power Gap: Mencapai Masa Depan Kaya Energi Bagi Semua Orang juga mengidentifikasi jendela peluang ramah lingkungan dan menetapkan empat jalur baru untuk menutup kesenjangan tersebut.
"Nasib 3,8 miliar kehidupan manusia dan bumi ini akan bergantung pada kemampuan kita menutup Green Power Gap," kata Dr. Rajiv J. Shah, Presiden The Rockefeller Foundation. "Sejarah membuktikan bahwa manusia dan negara akan berusaha mendapatkan kesempatan, terlepas dari konsekuensi iklim. Satu-satunya cara untuk mencapai tujuan iklim dunia adalah dengan meningkatkan solusi dan menggalang modal yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa 3,8 miliar manusia memiliki cukup listrik bersih untuk meningkatkan kehidupan dan mata pencaharian mereka."
72 negara yang dianalisa dalam laporan ini mewakili 68 negara yang berada di bawah Modern Energy Minimum (MEM), yaitu negara yang rata-rata penggunaan per kapita tahunannya kurang dari 1.000 kilowatt jam (kWh) yang diperlukan agar mampu mengentas masyarakat dari kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pembangunan ekonomi. Laporan ini juga mencantumkan empat negara lain* yang telah melampaui ambang batas MEM namun masih termasuk kategori "miskin energi" karena sebagian besar penduduknya masih hidup di bawah MEM.
Hanya delapan dari 72 negara berada di Amerika Latin & Karibia (Bolivia, El Salvador*, Guatemala, Haiti, Honduras, dan Nikaragua) dan Timur Tengah (Suriah dan Yaman), sedangkan 44 negara berada di Afrika, dan 20 negara di Asia.
Asia:
1) Afghanistan 2) Bangladesh 3) Kamboja 4) India* 5) Indonesia* | 6) Kiribati 7) Mikronesia 8) Myanmar 9) Nepal 10) Korea Utara | 11) Pakistan 12) Papua Nugini 13) Filipina 14) Samoa 15) Kepulauan Solomon | 16) Sri Lanka 17) Timor-Leste 18) Tonga 19) Tuvalu 20) Vanuatu |
"Meskipun tidak ada satu jawaban yang cocok bagi semua hal dalam menuju masa depan energi bersih yang berlimpah, kami percaya bahwa ada 'jendela peluang ramah lingkungan' berdasarkan aset sistem tenaga listrik yang ada dan ketersediaan sumber daya energi terbarukan di Asia," kata Deepali Khanna, Wakil Presiden dan Kepala Kantor Regional The Rockefeller Foundation Asia. "Negara-negara di kawasan ini, terutama India dan Indonesia, telah membuka jalan dengan menerapkan teknologi energi terbarukan dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya."
Dengan menghitung the Green Power Gap
untuk laporan ini, The Rockefeller Foundation mengelompokkan 193 negara anggota PBB ke dalam tiga kategori: (1) "Negara maju," yaitu 55 negara yang didefinisikan sebagai negara berpenghasilan tinggi oleh Bank Dunia; (2) "Negara miskin energi," mewakili 68 negara miskin energi, ditambah empat* negara lain yang disebutkan di atas; dan (3) "Negara yang sedang berkembang," mewakili 66 negara yang termasuk di antara kedua kategori tersebut (kelompok ini juga mengalami peningkatan konsumsi hampir 4.000 kWh per tahun selama 50 tahun terakhir, dibandingkan negara "miskin energi" yang hanya mengalami peningkatan 500 kWh).
Green Power Gap dihitung dengan menentukan berapa banyak karbon yang dapat diemisikan dunia selagi menjaga suhu global di bawah 1,75°C dan sambil memperhitungkan pertumbuhan populasi maupun tujuan pembangunan. Dan asumsi bahwa 55 negara "maju" dan 66 negara "sedang berkembang" masing-masing akan mencapai emisi nol karbon pada tahun 2050 dan 2060.
Berdasarkan penghitungan tersebut, sisa anggaran karbon sebanyak 207 gigaton (GT) dalam skenario ini memberikan kesempatan berkembang cukup besar bagi 72 negara "miskin energi." Dengan hanya berfokus pada sektor listrik, pembangkit listrik berbahan bakar fosil dapat lumayan bertumbuh dalam waktu dekat. Namun energi ramah lingkungan harus mendominasi dalam jangka panjang. Misalnya pada tahun 2030, sekitar dua pertiga dari total pembangkitan tenaga listrik masih menggunakan bahan bakar fosil di negara-negara miskin energi. Namun selambatnya tahun 2040, pangsa tersebut harus turun menjadi 30%, dan emisi nol bersih harus tercapai selambatnya tahun 2070.
Empat Jalur untuk Menutup Kesenjangan
Untuk memiliki kelimpahan energi, perlu perpaduan teknologi. Namun perpaduan ini akan sangat berbeda berdasarkan sumber daya dan kebutuhan setiap negara. Aset sistem tenaga listrik yang ada dan ketersediaan aset energi terbarukan di setiap negara akan menentukan jenis peluang lompatan besar yang ramah lingkungan yang paling memungkinkan. Berdasarkan hal ini, laporan tersebut mengidentifikasi empat jalur menuju kelimpahan energi bersih yang dapat terwujud berkat teknologi modern. Yaitu:
- Penghijauan jaringan secara bertahap: Jalur ini sesuai untuk negara seperti India yang telah mengembangkan jaringan listrik dan aset pembangkit bahan bakar fosil yang cukup besar dan terpusat.
- Perkembangan bauran jaringan listrik terbarukan: Jalur ini sesuai untuk negara seperti Nigeria dengan jaringan listrik dan kapasitas pembangkit listrik terbatas namun jumlah penduduknya lebih padat.
- Penyimpanan tenaga surya terdesentralisasi: Jalur ini sesuai untuk negara seperti Burkina Faso, yang memiliki kekayaan sumber daya tenaga surya tapi pengembangan jaringan listrik dan akses ke sumber daya terbarukan lainnya masih terbatas.
- Bauran energi terbarukan yang terdesentralisasi: Jalur ini cocok untuk negara seperti Republik Demokratik Kongo yang jaringan listrik dan aset pembangkit listriknya masih terbatas, namun memiliki beragam sumber daya terbarukan bermutu tinggi.
"Menutup Green Power Gap merupakan kepentingan setiap negara," kata Dr. Joseph Curtin, Managing Director tim Power and Climate di The Rockefeller Foundation dan salah satu penulis laporan tersebut. "Selain itu, 72 negara ini memiliki sumber daya terbarukan lebih unggul dibandingkan negara yang telah banyak menggunakan energi terbarukan. Jadi, bukannya meniru cara yang diambil oleh banyak negara maju, mereka memiliki jendela peluang ramah lingkungan untuk melakukan lompatan besar menuju sistem tenaga listrik yang lebih bersih, lebih cepat, dan lebih fleksibel."
The Rockefeller Foundation ingin mengeksplorasi semua jalur ini dengan lebih rinci saat melakukan analisis di kemudian hari.
TENTANG The Rockefeller Foundation
The Rockefeller Foundation adalah filantropi perintis yang didirikan berdasarkan kemitraan kolaboratif di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi agar setiap orang, keluarga, dan masyarakat dapat berkembang. Kami menginvestasikan banyak dana untuk mendorong kesejahteraan umat manusia. Saat ini, kami berfokus untuk memajukan kesempatan manusia dan membalikkan krisis iklim dengan mengubah sistem di bidang pangan, kesehatan, energi, dan keuangan. Untuk informasi lebih lanjut, daftarkan diri Anda untuk mendapatkan buletin kami di www.rockefellerfoundation.org/subscribe dan ikuti kami di X @RockefellerFdn dan LI @the-rockefeller-foundation.
Selain memiliki pusat konferensi di Bellagio, Italia, The Rockefeller Foundation juga memiliki kantor di Amerika Serikat di New York City dan Washington, DC; kantor pusat regional di Bangkok, Thailand, untuk kegiatan di Asia; dan kantor pusat regional di Nairobi, Kenya, untuk kegiatan di benua Afrika.
Penulis : Adityawarman