Likuiditas Adaro Tetap Solid


PT Adaro Energy Tbk (ADRO) mampu mempertahankan likuiditas yang solid dengan menghasilkan arus kas bebas sebesar US$630 juta pada 2020.

Sementara itu, EBITDA operasional berhasil melampaui target. Adaro Energy membukukan EBITDA operasional sebesar US$883 juta pada 2020, turun 27% dibandingkan 2019 sebesar US$1,2 miliar.

Meski demikian, EBITDA tersebut lebih tinggi dari panduan 2020 hasil revisi sebesar US$600 juta hingga US$800 juta. Adapun rasio utang bersih terhadap EBITDA operasional 12 bulan terakhir sebesar 0,19 kali dan rasio utang bersih terhadap ekuitas sebesar 0,04 kali.

Presiden Direktur dan CEO Adaro Energy, Garibaldi Thohir mengatakan, kinerja perseroan mencerminkan resiliensi model bisnis yang terintegrasi, berkat fokus pada efisiensi dan keunggulan operasional di seluruh lini bisnis. Meski menghadapi banyak tantangan, dari pandemi global sampai cuaca yang tidak mendukung, perseroan mampu memenuhi panduan produksi batu bara dan EBITDA operasional yang telah direvisi.

“Walaupun kami memperkirakan bahwa pemulihan ekonomi global akan membawa dampak positif terhadap industri, kami akan tetap berhati-hati di tengah ketidakpastian yang ada,” katanya di Jakarta, Jumat (5/3).

Menurut Garibaldi, perseroan tetap fokus meningkatkan keunggulan operasional, pengendalian biaya, dan efisiensi, serta melanjutkan eksekusi terhadap strategi demi kelangsungan bisnis. Tahun lalu, marjin EBITDA operasional perseroan tetap sehat sebesar 35% karena strategi pengendalian biaya.

“Kontribusi dari bisnis non pertambangan batu bara memberikan dukungan laba di tengah kondisi yang sulit. Adaro Energy membukukan pendapatan usaha US$ 2,53 miliar pada 2020 atau turun 27% dari 2019, terutama karena penurunan 18% pada harga jual rata-rata (ASP) dan penurunan 9% pada volume penjualan,” paparnya.

Perseroan mencatat penurunan 6% pada volume produksi menjadi 54,53 juta ton atau sedikit lebih tinggi daripada panduan 2020 yang telah direvisi menjadi 52-54 juta ton. Kondisi makro dan industri yang sulit akibat pandemi COVID-19 memberikan tekanan yang besar terhadap permintaan batu bara dan harga batu bara global pada 2020.

Adaro Energy membukukan penurunan beban pendapatan sebesar 21% secara tahunan menjadi US$1,95 miliar, sebagai hasil penurunan nisbah kupas maupun harga bahan bakar. Nisbah kupas tahun ini mencapai 3,84 kali atau di bawah panduan yang ditetapkan sebesar 4,3 kali, karena kondisi cuaca yang tidak mendukung pada hampir sepanjang 2020.

Biaya kas batu bara per ton, yang tidak termasuk royalti, turun 21% secara tahunan. Hal ini lantaran perseroan mencatat nisbah kupas dan biaya bahan bakar yang lebih rendah secara secara tahunan.

Total biaya bahan bakar yang turun 45% sejalan dengan penurunan biaya bahan bakar per liter dan penurunan konsumsi bahan bakar pada 2020. Adapun royalti yang dibayarkan Adaro Energy kepada pemerintah Indonesia turun 29% menjadi US$271 juta dan sejalan dengan penurunan pendapatan usaha 2020.

Beban usaha turut terpangkas 29% menjadi US$165 juta pada 2020 dibandingkan dengan US$233 juta pada 2019. Hal ini terutama akibat penurunan 45% pada beban penjualan dan pemasaran serta penurunan 44% pada biaya profesional.

Sementara itu, laba inti perseroan mencapai US$405 juta pada 2020 atau turun 36% secara tahunan akibat penurunan profitabilitas. Total aset perseroan juga terpangkas 12% menjadi US$6,38 miliar.

Aset lancar turun 18% menjadi US$1,73 miliar, terutama karena penurunan kas dan piutang usaha dari pihak ketiga. Sedangkan aset non lancar turun 9% menjadi US$4,65 miliar, terutama karena penurunan investasi pada perusahaan patungan, penurunan properti pertambangan dan penurunan aset tetap.

Pada akhir 2020, saldo kas berada pada posisi US$1,17 miliar. Perseroan telah menyerap belanja modal US$169 juta sepanjang 2020 atau lebih rendah dari panduan belanja modal hasil revisi yang sebesar US$200 juta hingga US$300 juta.

Pengeluaran belanja modal pada 2020 terutama digunakan untuk pembelian dan penggantian alat berat serta pengembangan Adaro MetCoal (AMC). Tahun ini, perseroan mengalokasikan belanja modal sekitar US$200 juta hingga US$300 juta.

Belanja modal ini akan digunakan untuk pemeliharaan rutin dan pengembangan perusahaan. Belanja modal tersebut diharapkan bisa mendukung EBITDA operasional 2021 yang ditargetkan US$750 sampai US$900 juta.

Sementara, produksi batu bara ditargetkan 52-54 juta ton dengan nisbah kupas konsolidasi 4,8 kali.

 

 


Penulis : Indra

Editor : Irwen