CDO, ZTE, Cui Li, Jadi Pembicara di Ajang AI Innovation Asia 2025 yang Digelar Economist Impact


Singapura, (ANTARA/PRNewswire)- ZTE Corporation (0763.HK / 000063.SZ), perusahaan terkemuka di dunia yang menyediakan solusi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terintegrasi, mengumumkan, Chief Development Officer, Cui Li, menjadi pembicara di ajang AI Innovation Asia 2025 yang digelar Economist Impact, lembaga yang berada dalam naungan The Economist Group.

CDO, ZTE, Cui Li, tampil sebagai pembicara di ajang AI Innovation Asia 2025 yang digelar AI Innovation Asia 2025 (PRNewsfoto/ZTE Corporation)

CDO, ZTE, Cui Li, tampil sebagai pembicara di ajang AI Innovation Asia 2025 yang digelar AI Innovation Asia 2025 (PRNewsfoto/ZTE Corporation)

Di sesi diskusi bertema "How May AI Help You? Agentic AI and the Customer Experience", Cui Li memaparkan visi strategis ZTE mengenai agen AI dan kiprah teknologi ini yang mulai mengubah pengalaman pelanggan serta model operasional perusahaan. Ia juga menekankan peran penting agen AI dalam meningkatkan daya tahan, pengawasan, dan akuntabilitas perusahaan. Cui Li mengajak berbagai perusahaan agar bersiap menghadapi era baru agen AI.

T1: Gambaran umum — Bagaimana agen AI menentukan pengalaman pelanggan di sektor Anda?

Menurut Cui Li, agen AI merombak pengalaman pengguna — bukan hanya desain antarmuka, namun juga cara sistem merespons, memahami, dan berkolaborasi dengan pengguna. Dengan strategi "AI for All", ZTE mengintegrasikan agen AI dalam empat bidang utama: jaringan, komputasi, rumah, dan perangkat pribadi.

Misalnya, ZTE menghadirkan jaringan otonom level 4 ke atas dengan tiga mesin utama: Nebula Telecom Large Model, big data, dan digital twin. Bekerja sama dengan China Mobile, ZTE mengembangkan multi-agent yang mampu mendeteksi masalah jaringan dan melakukan perbaikan otomatis, memangkas waktu perbaikan jaringan hingga 47%.

T2: Transformasi strategis — Bagaimana peningkatan otonomi digital melalui agen AI dapat membentuk daya tahan dan adaptabilitas organisasi?

Cui Li menjelaskan bahwa kita memasuki era yang diliputi kondisi tidak menentu sehingga perusahaan harus mencari stabilitas dari kondisi tersebut dan membangun fondasi kuat yang berkelanjutan. Kita harus gesit ketika mempelajari perubahan, beralih dari organisasi yang bekerja mekanis menjadi organisasi yang organik dan mudah beradaptasi.

Kita harus mencermati cara AI membantu kita. Model besar AI kini mampu bekerja setara atau melampaui tingkat PhD. Agen AI melangkah lebih jauh dengan memadukan memori dan sarana kerja, mampu mengoordinasikan berbagai agen untuk menyelesaikan tugas kompleks yang menguras waktu. Tentu saja, hal tersebut merupakan skenario ideal. Namun, teknologi ini masih berada dalam tahap awal dan menghadapi banyak tantangan teknis. Mengingat perkembangan pesat AI, Cui Li optimis bahwa solusi tersebut segera hadir.

Menurut Cui Li, pengembangan AI harus bersifat jangka panjang. Teknologi pintar dirancang dengan landasan digital dan jaringan. Tanpa transformasi digital, sebuah perusahaan sulit merealisasikan manfaat teknologi pintar, termasuk mewujudkan daya tahan atau kemampuan beradaptasi. Transformasi digital menuntut rekayasa pengetahuan, restrukturisasi proses, serta pola pikir AI.

ZTE mengawali transformasi digital pada 2016, lalu beralih menuju transformasi teknologi pintar pada 2022. Menurut pengalaman ZTE, infrastruktur harus menjadi prioritas, namun keseimbangan harus terwujud antara perangkat keras dan lunak; menyusun perencanaan sistematis mulai dari level atas hingga bawah; berinvestasi secara berkelanjutan, sebab terobosan terwujud dari setiap langkah kecil; dan untuk tahap akhir, fokusnya beralih menuju skenario yang bermanfaat praktis dan konkret, lantas iterasi cepat untuk mengatasi kondisi yang tak menentu.

T3: Pengawasan & akuntabilitas – Ketika sistem AI mampu mengambil keputusan secara otonom, bagaimana perusahaan menjaga pengawasan, menjamin akuntabilitas, dan mempertahankan kedaulatan digital?

Intinya, manusia harus tetap memegang kendali. Sejumlah pekerjaan, seperti membuat desain, melakukan tinjauan, mengambil keputusan, dan pengawasan, harus dilakukan oleh manusia. Otomatisasi hanyalah cara, bukan tujuan akhir. Kekhawatiran terbesar bukan soal peran manusia yang tergantikan oleh AI, melainkan ketika manusia mundur atau tidak lagi terlibat dalam proses tersebut.

Seperti dua sisi mata uang, model AI juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kemampuan generalisasi, kemampuan baru, dan evolusi berkelanjutan memang membuat AI sebagai teknologi yang penuh terobosan. Namun, AI juga memiliki kelemahan seperti halusinasi dan masalah "black box". Selain itu, manusia memiliki kecerdasan sosial dan moralitas—sesuatu yang sulit dikuasai AI. Pada dasarnya, AI dibangun dengan model statistik sehingga kurang memiliki akal sehat dalam situasi nyata. Apalagi, pertimbangan kompleks seperti yang dilakukan manusia.

Yang lebih penting, penerapan AI dalam aktivitas bisnis membutuhkan integrasi antara ilmu pengetahuan dan keahlian internal. Kita harus mempertimbangkan aspek akurasi, keamanan, kepatuhan regulasi, pembagian tanggung jawab, serta kesesuaian dengan alur kerja dan KPI. Berdasarkan pengalaman langsung ZTE, berikut beberapa anjuran yang dapat dipertimbangkan: Pertama, perusahaan sebaiknya membangun proyek knowledge engineering dan model besar khusus industri, didukung RAG dan digital twin agar lebih profesional dan andal. Kedua, identifikasi masalah nyata yang harus diselesaikan oleh agen AI. Agen AI serbaguna biasanya tidak efektif. Ketiga, memahami kapan harus menggunakan agen AI atau workflow. Agen AI lebih baik untuk tugas kompleks dengan jalur kerja yang berubah-ubah, sementara workflow lebih cocok untuk skenario yang sangat terstruktur dan dapat diprediksi. Terakhir, terapkan kolaborasi end–edge–cloud untuk menjaga efisiensi biaya dan sistem keamanan. Untuk semua aspek tersebut, manusia tetap menjadi pihak yang mengarahkan AI menuju arah yang benar dan menciptakan manfaat nyata.

T4: Langkah ke depan – Bagaimana Anda melihat perkembangan agen AI dari otomatisasi pekerjaan menjadi mitra bisnis terintegrasi, dan langkah apa yang harus segera diambil agar organisasi dapat mempersiapkan diri?

Dari perspektif teknologi, agen AI dapat dianggap sebagai pekerja digital yang proaktif. Tidak hanya menangani pekerjaan sederhana atau pekerjaan berkala, namun agen AI juga mampu menghubungkan alur kerja terpadu, mewujudkan otomatisasi kognitif, dan bahkan berkembang secara mandiri. Saat ini, agen AI bekerja dengan baik dalam skenario yang terstruktur, sarat informasi, toleran terhadap kesalahan, dan memiliki umpan balik yang jelas. Namun, agen AI sering kesulitan ketika diterapkan dalam lingkungan nyata yang lebih kompleks atau berisiko tinggi. Jadi seperti yang saya sebutkan, agen AI dan AI masih berada dalam tahap awal. Dalam satu hingga dua tahun ke depan, fokusnya kemungkinan besar berada pada industri vertikal. Setelah itu, agen AI akan menangani tugas yang lebih kompleks dengan otonomi lebih tinggi, menjadi lebih umum, adaptif, dan mampu belajar serta berkembang. Perkembangannya sangat cepat. Gemini 3, baru diluncurkan pada bulan lalu, telah menjadi standar baru untuk model AI dengan kemampuan penalaran, pemahaman multimodal, dan kapabilitas agentic yang mutakhir.

Bagi organisasi, saya percaya bahwa mengadopsi AI adalah satu-satunya pilihan. Menerapkan AI bukan hanya menghubungkan API—namun, membentuk ulang proses, struktur, dan tim. Perusahaan perlu menyusun rencana jangka menengah dan panjang, serta cukup tangkas mengikuti perubahan teknologi dan pasar. Setelah itu, mulai dari skenario bisnis bernilai tinggi dan lakukan iterasi dengan cepat. Itulah cara terbaik untuk benar-benar menguasai AI. Di sisi lain, AI juga mengubah strategi pengembangan SDM. Ke depan, akan ada tiga jenis SDM yang paling penting: pakar AI yang mengembangkan teknologi, pengguna AI tingkat lanjut yang mendorong inovasi dan efisiensi, dan individu yang dapat melampaui AI dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan pola pikir yang sehat. Pada akhirnya, demi memaksimalkan manfaat AI, perusahaan harus mulai menata ulang struktur organisasi dan merencanakan masa depan "simbiosis manusia–AI".

AI Innovation Asia 2025 adalah platform dialog tingkat tinggi yang mempertemukan pemimpin perusahaan, pelopor teknologi, dan pembuat kebijakan. Dengan 15 sesi tematik yang melibatkan lebih dari 40 pakar industri, platform ini mengulas jalur komersialisasi teknologi inovatif seperti AI generatif dan agen AI, agar kalangan perusahaan dapat mengubah wawasan teknis menjadi pertumbuhan nyata dan menavigasi transformasi digital berkelanjutan di pasar Asia-Pasifik yang kompleks.

NARAHUBUNG MEDIA:
ZTE Corporation
Communications
Surel: ZTE.press.release@zte.com.cn

SOURCE ZTE Corporation


Penulis : Adityawarman