Aturan pengetatan tembakau berdampak negatif bagi IHT


Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai bahwa kebijakan terkait industri rokok yang tertera pada PP 28/2024 atau UU kesehatan memberikan dampak kurang baik bagi industri hasil tembakau (IHT). 

"Jika aturan turunan yang mengatur mengenai kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang, berpotensi memberikan dampak ekonomi yang hilang mencapai Rp308 triliun atau setara 1,5 persen dari PDB," dalam pernyataannya di Jakarta. 

Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional. 

"Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor IHT dan produk turunannya atau 1,6 persen dari total penduduk bekerja," ungkapnya.

Dijelaskan Tauhid, kebijakan PP 28/2024 serta RPMK perlu melibatkan setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem IHT, bukan hanya pelaku usaha namun juga kementerian dan lembaga yang terlibat. 

Hal ini karena Indonesia memiliki ekosistem IHT yang kompleks dan berbeda dari negara lain yang telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana negara-negara tersebut bukan merupakan negara penghasil tembakau maupun produk hasil tembakau serta memiliki kontribusi pajak rokok yang relatif rendah.

Ketua Umum Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS menyampaikan bahwa PP 28 tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik terhadap IHT secara nyata dapat mematikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional. 

"Saat ini ada 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasibnya pada sektor IHT sebagai tenaga kerja pabrikan," katanya.

Kebijakan ini tembah Sudarto, secara terang-terangan akan mematikan industri hasil tembakau nasional. 

"Ada kurang lebih 226 ribu tenaga kerja anggota organisasi dari industri terkait yang akan terkena dampak dari regulasi tersebut," tuturnya.

Sudarto menilai aturan produk yang telah berlaku saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) sudah komprehensif mengatur pengendalian produk tembakau. 

"Aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa ada evaluasi secara komprehensif," ujarnya.
 


Penulis : Indra

Editor : Irwen