IMQ, Jakarta —
Terhambatnya pemanfaatan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang berasal dari biodiversitas alam Indonesia akibat persoalan dari sisi hilir.
Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan, hambatan di sisi hilir adalah OMAI yang tidak bisa diresepkan di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga terdapat keterbatasan pemanfaatan oleh masyarakat. Sementara itu di sisi regulasi, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan No 54/2018 yang membuat OMAI tidak bisa masuk Formularium Nasional di program JKN.
"Terhambatnya pemanfaatan OMAI yang diproduksi industri farmasi nasional ini, membuat percepatan kemandirian bahan baku obat dalam negeri tidak tercapai dan impor bahan baku obat yang mencapai 95% sangat menggerus devisa negara. Sementara dokter kita sudah terbiasa memberikan obat-obat ini kepada para pasiennya," katanya pada acara webinar Dialog Nasional Pengembangan OMAI untuk Kemandirian Obat Nasional di Jakarta, Jumat (6/11).
Untuk bisa menekan impor bahan baku obat, menurut Bambang, semua pihak harus mengampanyekan para dokter memiliki keberpihakan kepada OMAI.
"Selama ini dokter-dokter di Indonesia belum terbiasa memberikan resep obat-obatan herbal kepada pasiennya karena sudah terlanjur nyaman menggunakan obat-obatan kimia," paparnya.
Kondisi itu, lanjut Bambang, justru menghambat penelitian dan pengembangan OMAI oleh industri farmasi nasional. Padahal pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu Di Indonesia.
Di mana, Menteri Keuangan menjanjikan pengurangan penghasilan bruto hingga 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan yang melakukan penelitian dan pengembangan, salah satunya untuk memproduksi obat-obatan herbal.
"Tetapi kita juga harus sadar, mereka mau melakukan research and development (R&D/penelitian dan pengembangan), kalau sudah jelas pemakaian dari obat yang mereka teliti itu. Kalau dokternya tidak menggunakan OMAI dan tidak mengusulkannya masuk ke dalam daftar obat rujukan Kementerian Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), industrinya tentu belum mau melakukan R&D," ujar Bambang.
Mantan Menteri Keuangan itu menegaskan, target Presiden Joko Widodo untuk menciptakan kemandirian industri obat nasional sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Obat dan Alat Kesehatan bisa jalan di tempat tanpa kontribusi para dokter.
Padahal salah satu misi dari Inpres tersebut adalah mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri/utilisasi kapasitas industri.
"Kita bisa masuk lingkaran setan karena berputar disini saja. Setelah saya pelajari, pengadaan obat dan alat kesehatan di rumah sakit itu yang menentukan adalah dokter yang langsung memberikannya ke pasien. Kuncinya ada di dokter ini," tutur Bambang.
Sedangkan Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Muhammad Khayam menilai, ketergantungan industri farmasi di dalam negeri terhadap bahan baku impor tidak lepas dari status penanaman modal asing (PMA) perusahaan-perusahaan tersebut.
"Tingkat ketergantungan perusahaan farmasi PMA kepada induknya masih tinggi. Dari 24 perusahaan farmasi, hanya 4 perusahaan berstatus BUMN dan sisanya swasta nasional," kata Muhammad Khayam.
Sementara untuk membangun pabrik petrokimia di dalam negeri yang bisa memasok kebutuhan industri farmasi, secara keekonomian dinilai kurang feasible.
"Dari hitungan bisnis memang industri bahan baku kurang menarik karena kurang feasible kalau hanya memasok kebutuhan di dalam negeri. Lalu insentifnya juga dinilai belum mampu menarik investasi. Tapi nanti coba kita dorong Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) bahan baku obat ini agar bisa jadi menarik," tuturnya.
Sebelumnya, pada Kamis (5/11) lalu, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh pihak terkait untuk bersama melakukan reformasi sistem kesehatan nasional secara besar-besaran. Reformasi tersebut juga mencakup kemandirian obat dan bahan baku obat.
"Indonesia memiliki keberagaman hayati baik di darat maupun di laut. Tetapi 90 persen obat dan bahan baku obat masih mengandalkan impor. Hal ini jelas memboroskan devisa negara, menambah defisit neraca transaksi berjalan, dan membuat industri farmasi dalam negeri tidak bisa tumbuh dengan baik," kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia.
